Bedhaya
Sumreg Dance is one of the “dance inheritance” property of the
Jogjakarta Keraton Palace. Classical dance is not merely a composition
of gestures that are created into a single entity serving the whole
spectacle. But behind the dance classic, stored on a story or a very
high philosophical meaning is conveyed as a message for the human life.
Bedhaya Sumreg has meaning as an angel who danced to the accompaniment
of gending Ageng Ladrang and Ketawang. Bedhaya Sumreg first appeared
in the Sri Susuhunan Pakubowono I. After breaking into Kasuhunan
Mataram Sultanate of Surakarta and Yogyakarta, Sri Sultan
Hamengkubuwono I compile again Bedhaya Sumreg along with the
establishment of Sultanate of Yogyakarta. When Sri Sultan
Hamengkubuwono I run on the beach Parangkusuma Labuh ceremony, he was
greeted with Bedhaya Sumreg who danced by the dancers from the South
Coast.This Dance show about the attitude and the way taken by the
leader in addressing shared problems of his era. Bedhaya messages
conveyed by this is that human life on earth back to mutual respect and
respect for all forms of differences with relationships based on
kinship, cultural, and religious.
In Bahasa Indonesia:
Berbagai
tarian kerajaan di Jawa memiliki nilai historis yang terletak pada
posisi tangan, yang mendapat pengaruh dari tari India. Pengaruh meluas
sampai di Bali yang ditambah dengan gerak mata. Tarian yang terkenal
ciptaaan para raja, khususnya di Jawa merupakan bentuk teater tari
seperti wayang wong dan bedhaya ketawang. Dua tarian ini merupakan
pusaka raja Jawa. Bedhaya ketawang adalah tarian yang diciptakan oleh
Raja Mataram Ketiga, Sultan Agung Hanyokrokusuma (1613-1646) dengan
berlatar belakang mitos percintaan antara Raja Mataram Pertama,
Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul atau penguasa laut
selatan yang ditampilkan oleh sembilan penari wanita. Bedhaya Sumreg
merupakan salah satu tarian pusaka yang semula muncul pada masa
pemerintahan Sri Susuhanan Paku Buwono I. Bedhaya Sumreg memiliki arti
sebagai bidadari yang menari dengan iringan gending ageng, ladrang, dan
ketawang. Tarian ini pernah dipentaskan dalam perayaan ke 250 tahun
keraton dan 250 tahun kota Jogjakarta
Bedhaya Sumreg menjadi tarian
yang sangat sakral dan juga sebagai tarian persembahan bagi para tamu
yang datang ke kerajaan pada masa pemerintahan Sultan HB I-IV. Dan juga
dipentaskan saat upacara naik tahta dan upacara pentahbisn raja hingga
masa pemerintahan HB IV. Setelah Mataram pecah menjadi Kasuhunan dan
Kasultanan Yogyakarta akibat dari Perjanjian Giyanti, tarian ini dibuat
seiring dengan Sri Sultan HB I mendirikan Kasultanan Yogyakarta.
Dikisahkan bahwa saat Sultan HB I melabuh di Pantai Parangkusumo, dia
disambut oleh para penari dari pantai selatan. Dari situlah muncul
gagasan untuk mengembangkan tarian di kerajaan.
Pada masa pemerintahan Sri
Sultan HB II bedhaya pusaka ini mulai dibangun kembali dan diteruskan
oleh Sri Sultan HB III yang akhirnya dipentaskan dalam peristiwa
jumenengan dalem Sri Sultan HB IV. Melalui berbagai tulisan tangan yang
diperoleh dari pencatatan gerek tari hingga pemerintahan HB IV. Hingga
kini bedhaya yang berati lampah, bedayan yang berasal dari kerjaan
Mataram itu akhirnya diwarisi oleh Kasultanan Yogyakarta.
Sesuai dengan namanya Bedhaya
Sumreg ini membawakan cerita yang penuh dengan gejolak dan intrik
seiring dengan masa-masa pemerintahanya. Asal-usul kolonialisme perang
Jawa yang sebenarnya dan secara khusus mengenai sikap dan cara yang
ditempuh oleh para pemimpin dan negerinya di masa itu untuk menghadai
masalah zamanya. Inspirasi perang Jawa itu berpengaruh hingga kini
dalam berbagai bentuk kolonialisme yang lebih canggih seperti ekonomi,
politik, dan budaya. Terlebih sering mendapatkan legitimasi
international yang tak ubahnya seperti perang suksesi dinasti Mataram
untuk merebut tahta dan kursi.
0 komentar:
Posting Komentar