
In Bahasa Indonesia:
Berbagai
tarian kerajaan di Jawa memiliki nilai historis yang terletak pada
posisi tangan, yang mendapat pengaruh dari tari India. Pengaruh meluas
sampai di Bali yang ditambah dengan gerak mata. Tarian yang terkenal
ciptaaan para raja, khususnya di Jawa merupakan bentuk teater tari
seperti wayang wong dan bedhaya ketawang. Dua tarian ini merupakan
pusaka raja Jawa. Bedhaya ketawang adalah tarian yang diciptakan oleh
Raja Mataram Ketiga, Sultan Agung Hanyokrokusuma (1613-1646) dengan
berlatar belakang mitos percintaan antara Raja Mataram Pertama,
Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul atau penguasa laut
selatan yang ditampilkan oleh sembilan penari wanita. Bedhaya Sumreg
merupakan salah satu tarian pusaka yang semula muncul pada masa
pemerintahan Sri Susuhanan Paku Buwono I. Bedhaya Sumreg memiliki arti
sebagai bidadari yang menari dengan iringan gending ageng, ladrang, dan
ketawang. Tarian ini pernah dipentaskan dalam perayaan ke 250 tahun
keraton dan 250 tahun kota Jogjakarta
Bedhaya Sumreg menjadi tarian
yang sangat sakral dan juga sebagai tarian persembahan bagi para tamu
yang datang ke kerajaan pada masa pemerintahan Sultan HB I-IV. Dan juga
dipentaskan saat upacara naik tahta dan upacara pentahbisn raja hingga
masa pemerintahan HB IV. Setelah Mataram pecah menjadi Kasuhunan dan
Kasultanan Yogyakarta akibat dari Perjanjian Giyanti, tarian ini dibuat
seiring dengan Sri Sultan HB I mendirikan Kasultanan Yogyakarta.
Dikisahkan bahwa saat Sultan HB I melabuh di Pantai Parangkusumo, dia
disambut oleh para penari dari pantai selatan. Dari situlah muncul
gagasan untuk mengembangkan tarian di kerajaan.
Pada masa pemerintahan Sri
Sultan HB II bedhaya pusaka ini mulai dibangun kembali dan diteruskan
oleh Sri Sultan HB III yang akhirnya dipentaskan dalam peristiwa
jumenengan dalem Sri Sultan HB IV. Melalui berbagai tulisan tangan yang
diperoleh dari pencatatan gerek tari hingga pemerintahan HB IV. Hingga
kini bedhaya yang berati lampah, bedayan yang berasal dari kerjaan
Mataram itu akhirnya diwarisi oleh Kasultanan Yogyakarta.
Sesuai dengan namanya Bedhaya
Sumreg ini membawakan cerita yang penuh dengan gejolak dan intrik
seiring dengan masa-masa pemerintahanya. Asal-usul kolonialisme perang
Jawa yang sebenarnya dan secara khusus mengenai sikap dan cara yang
ditempuh oleh para pemimpin dan negerinya di masa itu untuk menghadai
masalah zamanya. Inspirasi perang Jawa itu berpengaruh hingga kini
dalam berbagai bentuk kolonialisme yang lebih canggih seperti ekonomi,
politik, dan budaya. Terlebih sering mendapatkan legitimasi
international yang tak ubahnya seperti perang suksesi dinasti Mataram
untuk merebut tahta dan kursi.
0 komentar:
Posting Komentar